Impianku

Impianku

KITA AKAN TETAP BERSATU

KITA AKAN TETAP BERSATU

Senin, 09 Februari 2009

Yang Kunantikan Telah Pergi


Oleh: Nur Asriani Ahmad


Kutarik napas panjang-panjang untuk membuang sedikit rasa lelahku, karena seharian membersihkan rumah. Kemudian aku mencoba memejamkan mata sambil menyandarkan diri ke sofa.
“Selamat atas pernikahan kalian! Semoga cepat dapat momongan ya…!” kata salah satu tamu undangan.
“Aku sudah tak sabar untuk menimang cucu-cucuku” seru mertuaku.
Ah! Kata itu masih terngiang di telingaku. Padahal sudah tiga tahun berlalu setelah pernikahanku dengan suamiku tercinta. Tetapi sampai sekarang tidak ada tanda-tanda aku akan mengandung. Bulan ini saja aku lagi datang bulan. Perasaanku mulai resah dan gelisah. Suatu ketika mertuaku datang mengunjungi kami.
“Assalamu’alaikum…”
“Eh Mama! Mari masuk Ma!” sambutku ramah.
“Makasih sayang. Bagaimana kabarmu dan Syahrul?”
“Alhamdulillah. Baik Ma! Mama mau minum apa?” tawarku.
“Air putih aja. Mama tidak lama kok!”
“Tunggu sebentar ya Ma!”
Aku pun segera masuk mengambilkan segelas air putih. Kukeluarkan juga kue agar-agar yang ada di kulkas. Kebetulan tadi pagi aku buat kue untuk suamiku. Soalnya dia memang hobinya cari-cari kue kalau pulang kerja.
“Ma silahkan dicicipi kuenya! Ngomong-ngomong Mama darimana dan ada perlu apa ya?”
“Gini sayang mama kemari cuma mau nanya kabar kamu. Apakah perutmu sudah berisi?” pertanyaan itu langsung membuatku tidak enak ”soalnya sudah lama rasanya setelah pernikahanmu dengan anakku tapi belum juga mendapatkan anak. Kamu tahukan kami sudah lama menantikan seorang cucu dan kalianlah satu-satunya harapan kami!”
Ya. Begitu juga dengan orang tuaku. Mungkin hampir tiap bulan mereka bergantian mengunjungiku dan bertanya masalah itu-itu saja. Sebenarnya aku sudah bosan dengan semua itu. Setiap mereka datang aku rasanya mau mengusir mereka, tapi merekakan orangtuaku dan aku harus menghormatinya. Aku paham maksud mereka. Mereka sudah lama menantikan seorang cucu. Dan kamilah satu-satunya harapan mereka. Kami satu-satunya harapan mereka karena kebetulan aku dan suamiku merupakan anak semata wayang. Jadi begitulah.
Semua itu membuatku sangat pusing. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Aku dan suamiku sudah berusaha melakukan apa saja untuk mendapatkan seorang anak. Mulai dari minum jamu-jamuanlah, pengobatan alternatiflah, sampai berobat ke dokter umum. Gagal di sini pindah ke situ, gagal di situ pindah ke sana. Dan hasilnya tetap nihil.
Sebenarnya aku sudah hampir berputus asa. Aku sebagai seorang wanita merasa tidak bisa menjadi wanita yang seutuhnya, yaitu menjadi seoarang ibu! Aku ingin sekali menjadi seorang ibu. Aku sudah lama merindukan melihat anakku berlari-lari di dalam rumah sambil memanggil-manggil “Mama…mama!” betapa aku sangat merindukan semua itu.
“Ma…..Mama! Papa pulang”
Suara itu membuatku tersadar dari lamunanku. Suamiku telah pulang mencari nafkah. Dia begitu tegar dengan keadaanku ini. dia selalu memberiku semangat dan dia tak pernah putus asa. Oleh karena itu, aku begitu sangat mencintainya.
Aku langsung menyambut suamiku yang ada di depan pintu. Kuambil tas kerjanya dan segera aku masuk ke dapur mengambilkan minuman dan kue buatanku untuk suamiku tercinta.
***
Sepuluh tahun sudah kita berumah tangga
tapi belum juga mendapatkan putra
Lagu itu lagi! Setiap aku pegi ke pasar, lagu itu tak pernah absen kudengar. Semua itu sepertinya menyindir tentang kehidupanku yang memang mirip dengan lagu tersebut. Merinding rasanya diri ini setiap mendengarnya. Sering kali tak terasa air mata membasahi pipiku.
“Ibu Nur! Kenapa Ibu menangis?” Tanya tetanggaku yang biasa ke pasar bersamaku.
“Nggak ada apa-apa kok. Aku cuma terharu dengar lagu itu. Soalnya mirip banget dengan kehidupanku sekarang.” Jawabku dengan nada terisak ”kenapa ya bu nasibku begini! Aku ingin sekali menjadi seorang ibu. Tapi sudah bertahun-tahun setelah pernikahanku aku belum juga mendapatkan anak! Aku merasa belum menjadi wanita seutuhnya!”
“Sabar ya bu! Semua yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Yang Mahakuasa! Sabar ya bu Nur! Pasti semua ada hikmahnya. Tapi ibu terus berusaha ya! Pasti ada jalan”
“Terima kasih ya bu! Aku akan terus berusaha!”
Aku berusaha menenangkan perasaanku dan pikiranku. Aku juga teringat dengan isi ceramah dalam pengajian bulanan di rumah.
“Kita sebagai seorang muslim tidak boleh berputus asa terhadap apa yang telah ditetapkan Allah SWT. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Dan Allah tidak akan memberikan ujian kepada hambaNya di luar batas kemampuannya. Ingat Allah bersama orang-orang yang sabar….”
Tausiyah itu membuatku kembali bersemangat. Aku mulai sadar kalau selama ini aku bisanya hanya mengeluh saja sama diriku sendiri. Aku sangat jarang meminta petunjuk kepada Allah SWT. Setelah mengikuti pengajian itu aku mulai memperbaiki ibadahku dan terus berdoa agar aku diberi kesabaran dalam menjalani skenario kehidupanku.
***
Lima tahun sudah berlalu. Seperti biasa orang tua dan mertua selalu menanyakan hal-hal yang menurutku sudah menjadi hobi mereka. Tapi alhamdulillah, sekarang aku merasa lebih tenang daripada yang dulu. Selama ini aku dan suamiku masih terus berusaha dengan segenap kemampuan kami dan terus berdoa kepada Allah swt. yang telah memilihkan kehidupan ini.
***
Aku merasa bulan ini ada yang berbeda. Soalnya bulan ini dan bulan lalu aku tidak datangan bulan. Aku berharap usaha kami selama ini membuahkan hasil.
Aku segera memeriksakan diri ke dokter. Aku menunggu hasilnya dengan rasa yang deg-degan. Setelah hasilnya keluar, ternyata hasilnya positif. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. aku merasa sedang terbang melayang bersama kupu-kupu yang cantik terbang di atas bunga-bunga yang indah dan harum baunya. Rasa senang dan terharu bercampur aduk dalam dadaku. Aku terus memanjatkan syukur kepada Allah SWT. Tak terasa aku meneteskan air mata. Ini merupakan air mata yang selama ini yang aku tunggu-tunggu. Air mataku jatuh bagaikan belian dan mutiara yang sangat indah. Yang kunantikan selama ini telah datang. Dan aku berjanji akan terus merawatnya dengan baik dan menjaga amanah yang telah diberikan Allah SWT.
“Selamat ya bu! Jaga baik-baik kesehatan ibu. Maaf ya bu sebelumnya. Jaga baik-baik anak yang ada di kandungan ibu! Soalnya ibu akan susah mendapatkan anak kedua. Ini merupakan amanah yang sangat berharga.” nasihat dokter kepadaku
“Iya Dok. Terima kasih sebelumnya. Saya berjanji Dok. Saya akan sering memeriksakan diri kesini”
***
Setibanya di rumah aku mempersiap diri untuk segera memberitahukannya kepada suamiku tercinta. Aku tidak bisa membayangkan betapa senangnya suamiku mendengar berita ini. Aku berencana memberitahukan orang tuaku dan mertuaku setelah aku memberitahukan suamiku.
Sekarang sudah pukul lima belas lewat sedikit. Biasanya suamiku sudah tiba di rumah. Aku sudah merasa tak sabar untuk memberitahukan hal ini. aku menunggu suamiku di teras rumah. Tetapi sudah setengah jam berlalu. Tidak biasanya suamiku pulang terlambat begini. Adzan ashar terdengar dari mesjid di perumahan ini. Perasaanku mulai tak enak. Aku masuk ke dalam kamar dan mengambil air wudhu kemudian melaksanakan sholat ashar. Di tahyatul akhir, telepon berdering. Setelah salam aku segera mengangkat telepon.
“Halo!”
“Selamat sore Bu. Kami dari pihak kepolisian,”
Aku sedikit kaget mendengar itu. Perasaanku semakin tidak enak.
“Ada apa ya pak?”
“Apakah betul ini rumah bapak Syahrul Hidayatullah?”
“Iya pak, saya istrinya! Ada apa ya pak?”
“Begini Bu. Tapi ibu yang sabar ya! Pak Syahrul mengalami kecelakaan…”
“Apa……..?!” mendengar hal ini aku merasa tubuhku seperti disengat listrik. Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Kemudian pak polisi memberitahukanku tempat suamiku di rawat.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku panik, takut. Aku segera menelepon orang tuaku.
“Ha…ha..lo! I…bu.. ini Nur!”
“Nur ada apa sayang kenapa kamu kedengaran sangat ketakutan.?”
“M..mas Syahrul Bu!? Mas Syahrul kecelakaan!”
***
“Pa…pa…?! Dok, bagaimana keadaan suamiku?“ Tanyaku kepada dokter yang menangani suamiku.
“Sabar ya bu. Suami ibu masih dalam kondisi kritis. Dia mengalami benturan di kepala yang sangat keras dan beberapa tulangnya patah! “ jelas dokter yang membuat tubuhku terasa sangat kaku dan badanku mulai mengeluarkan keringat dingin.
Tiba-tiba kurasakan tangan suamiku menyentuh tanganku.
“Papa..!” aku terus meneteskan air mata.
“Ma…ma. Pa…pa minta maaf atas kesalahan papa selama ini. Papa mungkin belum bisa menjadi suami yang baik. Papa sudah tak tahan lagi…ma” kata suamiku sambil menahan rasa sakitnya.
“Papa tidak boleh bilang begitu. Papa harus bertahan. Demi anak kita pa. Ya! Kita akan membesarkan anak kita bersama-sama pa..! Papa usaha kita selama ini berhasil pa. Mama sekarang hamil pa. Papa harus bertahan.”
Sambil tersenyum menahan sakitnya “Ma. Papa senang mendengarnya. Mama janji ya jaga anak kita baik-baik!
***
Delapan bulan telah berlalu setelah kematian suamiku yang paling aku cintai. Kini usia kandunganku sudah sembilan bulan dan aku telah menanti hari kelahiran bayi yang telah aku nantikan selama ini.
Tepatnya bulan Agustus aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat mirip dengan papanya. Dia terlihat sangat lucu. Aku sangat senang. Rasa senangku mengalahkan rasa sakit yang dirasakan setiap ibu yang melahirkan. Bahkan tak ada yang mampu menggambarkan rasa sakitnya.
“Pa., anak kita telah lahir. aku janji akan merawatnya hingga ia besar.“
***
Setelah melahirkan aku tinggal bersama orang tuaku. Kini usianya sudah dua bulan. Aku sudah sering melihatnya tersenyum, mendengar suaranya saat ia menangis, kedipan matanya, apalagi saat menyusuinya memberikan kebahagiaan tersendiri bagi seorang ibu. Sekarang aku begitu sangat berbahagia. Selama ini yang kunantikan telah ada di depan mataku. Walaupun situasinya lain karena papanya sudah tiada.
***
“Bu…Ibu! Kenapa dengan anakku?!” teriakku panik ”badannya panas sekali dan dia juga tak mau minum ASI, Bu”
“Iya. Badannya panas sekali. Tenang ya. Kita bawa ke rumah sakit segera”
Kami pun membawanya ke rumah sakit..
“Dok bagaimana keadaan anak saya” tanyaku panik.
“Anak anda terserang penyakit demam berdarah dan keadaannya sudah parah. Kami hanya dapat berusaha dengan apa yang kami bisa perbuat untuk anak anda.”
Ternyata anakku terserah penyakit demam berdarah dan keadaannya telah parah. Memang sudah beberapa hari, aku merasa panas anakku meningkat. Tetapi aku kira itu cuma sakit biasa.
Mendengar semua itu aku teringat saat-saat almarhum suamiku dalam keadaan kritis.
Ini memang salahku! Maafkan aku pa…!
***
Semua orang mulai meninggalkan kompleks pemakaman ini. Tetapi aku masih terpaku menatap makam ini.
Untuk kedua kalinya, aku kehilangan orang yang paling aku cintai. Anakku telah menyusul ayahnya di alam sana. Kini yang kunantikan pergi.



Datang nasib tak bisa disangka
Begitu juga maut tak dapat diduga
Tuhan memang selalu menjadi penentu terakhir
Dari semua skenario yang diinginkan manusia
Semua sudah menjadi garis nasib yang diguratkan Tuhan
(Sebuah kalimat sejuk yang dilontarkan Muryoto, salah satu orangtua korban kecelakaan tragis di Paiton)

Tidak ada komentar:

My Favoritte

myspace icons